Hanya 35 Persen Tercatat Pemilih Difabel, Aksesibilitas TPS Mengkhawatirkan
Yogyakarta – Survei Pertemuan Komunitas Observer untuk Nusantara Inklusif Disabilitas atau Formasi Disabilitas menemukan belaka 35 persen penyandang disabilitas yang tercatat sebagai pemilih difabel. Survei juga menemukan, sejumlah 44,9 persen pemilih difabel terdata sebagai tidak difabel kemudian 19,4 persen tak mengetahui statusnya sebagai pemilih.
Akibatnya, acara pemilihan dalam tempat-tempat pemungutan kata-kata (TPS) dikhawatirkan tidaklah semua aksesibel bagi difabel. “Kalau penyediaan aksesibilitas kemudian pemahaman Tim Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tentang layanan yang digunakan aksesibel dan juga pendampingan bagi difabel berdasarkan data itu, kemungkinan besar bukan sejumlah personel di TPS yang digunakan tahu keberadaan pemilih difabel pada tempat dia bertugas,” kata Eksekutif Nasional Formasi Disabilitas Nur Syarif Ramadhan di diseminasi hasil survei di dalam Yogyakarta, Kamis, 18 Januari 2024.
Data Jumlah Pemilih Difabel Harus Diketahui
Padahal untuk dapat memberikan akomodasi yang digunakan layak bagi pemilih difabel, pelaksana pemilihan raya tiada belaka memerlukan data jumlah keseluruhan kelompok ini. Penyelenggara pemilihan umum juga harus mengetahui hasil identifikasi keperluan untuk masing-masing ragam pemilih difabel.
“Artinya, serangkaian pendataan pemilih bagi difabel belum mengakomodir. Petugas pendataan belum memahami bagaimana mengidentifikasi pemilih difabel,” ujar Syarif menambahkan. Temuan survei itu, kata dia, menggambarkan masih berbagai ruang perbaikan yang digunakan diperlukan diupayakan, baik untuk Pemilihan Umum pada 14 Februari 2024, maupun pemilihan selanjutnya.
Survei yang disebutkan melibatkan 479 responden disabilitas dari 31 provinsi dengan kurun waktu Desember 2023 – 2 Januari 2024. Survei kolektif oleh Sasana Inklusi serta Inisiatif Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, Pusat Rehabilitasi YAKKUM (PRYAKKUM) serta Formasi Disabilitas dengan dukungan Proyek Inklusi (Kemitraan Australia – Indonesi untuk Mewujudkan Publik Inklusif) yang dimaksud dilakukan secara daring.
Akses Data Belum Adil Bagi Difabel
Survei ini dilaksanakan dengan metode snow balling. Hasilnya, sedikit representasi responden dari panti atau pun balai atau pusat rehabilitasi, yakni hanya saja 0,6 persen dari 479 responden. “Ini merupakan fenomena meresahkan,” ucap Syarif.
Mengingat di berada dalam upaya menyokong panti juga balai rehabilitasi menjadi lebih besar menjunjung hak asasi manusia, ternyata institusi-institusi yang dimaksud masih berubah jadi ruang kecil yang belum meyakinkan akses informasi lalu edukasi yang adil bagi difabel. Kurangnya keterjangkauan informasi yang dimaksud dapat memunculkan berbagai kemungkinan, seperti bukan terpenuhinya hak pilih difabel yang mana tinggal di panti hingga kemungkinan berubah menjadi objek kecurangan.
Rekomendasi temuan yang disebutkan disampaikan ke KPU agar dapat melakukan upaya terukur untuk meyakinkan penjangkauan bagi panti atau balai rehabilitasi menjauhi Pemilu. Juga ke Bawaslu untuk melakukan pemantauan penyelenggaraan pemungutan pendapat dalam panti atau balai rehabilitasi.
Direktur SIGAB Indonesia, M. Joni Yulianto berharap, hasil temuan survei berubah menjadi perhatian bersama, teristimewa pengurus Pemilu. Temuan-temuan survei semestinya perlu dijawab di beberapa hari kedepan mendekati pelaksanaan pada 14 Februari 2024.
“Jadi tak semata-mata sebatas penyampaian rekomendasi, tapi harapannya ada aksi lanjut juga implementasi perbaikan penyelenggaraan pemilihan dari survei ini,” ujar Joni.
Masih Belum Paham Petugas KPPS Paham Isu Difabel
Sementara anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Muhammad Afifudin yang digunakan turut hadir mengisahkan pengalaman pada tahun 2014, bahwa ia sempat mengusulkan agar kategori difabel dicantumkan pada Daftar Pemilih Tetap (DPT). Namun tantangan lainnya adalah masih berbagai personel yang digunakan belum menyadari isu dan juga keinginan difabel di Pemilu.
“Ada anggota yang digunakan tidaklah menanyakan jenis disabilitas yang memilih. Ada juga yang digunakan saat tiada ditanya, ia juga tak menginformasikan disabilitasnya,” Afifudin melanjutkan.
Menurut Afifudin, KPU berupaya untuk memfasilitasi hak difabel di Pemilu. Berupa kebijakan ataupun aturan terkait hak urusan politik difabel dengan melibatkan aktivis dan juga NGO di menggalakkan penyelenggaraan pemilihan yang digunakan lebih lanjut ramah difabel. Termasuk setiap temuan KPU ataupun yang digunakan disampaikan ke KPU dijaga serta dipertahankan.
Artikel ini disadur dari Hanya 35 Persen Tercatat Pemilih Difabel, Aksesibilitas TPS Mengkhawatirkan