Kesehatan

Sudahkah Akses Bacaan bagi Disabilitas Tersedia dalam Indonesia?

Jakarta – Menurut perkiraan World Blind Union, lebih lanjut dari 90 persen dari seluruh karya tulis yang tersebut sudah pernah terbit tidak ada dapat diakses oleh penyandang disabilitas atau difabel netra lalu mereka itu yang memiliki gangguan jiwa penglihatan. Kondisi ini disebut sebagai book famine.

United Nations Development Programme mencatatkan data bahwa meskipun teknologi informasi sudah pernah mengalami perkembangan pesat, book famine terus berlangsung pada pelbagai belahan dunia, khususnya pada negara berkembang.

Indonesia sendiri sudah ada meratifikasi Perjanjian Marrakesh (Marrakesh Treaty) untuk mengakhiri book famine secara global sejak 2013. Perjanjian Marrakesh bertujuan untuk meningkatkan akses ke karya tulis yang tersebut telah dilakukan terbit bagi penyandang disabilitas netra.

Staf Layanan Lansia kemudian Disabilitas Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Arum Nugrahanti menjelaskan Perpusnas, ketika ini,  telah menyediakan 3.276 judul buku edisi Braille kemudian 462 audiobook atau buku yang dimaksud disuarakan. Buku-buku itu meliputi biografi, fiksi, non-fiksi, buku agama, serta buku pengetahuan. Koleksi novel fiksi edisi Braille juga sudah ada tersedia pada Perpusnas seperti Dilan karya Pidi Baiq juga Bumi Orang karya Pramoedya Ananta Toer.

Biasanya, menurut Arum, teman difabel berkunjung ke Layanan Lansia lalu Disabilitas Perpusnas secara berkelompok. Mereka biasanya datang dengan komunitas dengan menggunakan kendaraan khusus, seperti TransJakarta Cares.

Walaupun akses literasi bagi difabel sudah ada tersedia, anggota Persatuan Tunanetra Tanah Air atau Pertuni, Furqon Hidayat mengatakan ketersediaan bacaan edisi Braille atau audiobook masih terbatas. Bahan bacaan yang bisa saja dia dapatnya cuma-cuma lewat media daring pun, menurutnya, terkadang formatnya tak memungkinkan untuk dibaca menggunakan program pembaca layar.

“Sebenarnya yang mana dikehendaki tunanetra itu adalah ketersediaan substansi bacaan yang mana terjangkau. Misalnya terjangkau dari rumahnya atau tiada terlalu jauh,” kata Furqon, yang digunakan pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Pertuni. Furqon mengapresiasi layanan yang dimaksud disediakan oleh Perpustakaan Nasional. Hanya saja, menurutnya, komunitas penyandang disabilitas tiada terpusat ke area sekitar perpustakaan saja. Masih berbagai difabel yang tinggal terpencil dari perpustakaan dan juga tak ringan menjangkau layanan itu.

Selain itu, permasalahan lain yang dimaksud muncul di teman difabel adalah rendahnya minat baca sebagaimana penduduk Nusantara pada umumnya. “Tunanetra belum sepenuhnya dapat mengikuti lembaga pendidikan akibat menghadapi kesulitan komponen bacaan atau tantangan lain,” kata Furqon. “Ke depan semoga tunanetra bisa saja mengikuti sekolah dengan lebih lanjut bermakna.”

Artikel ini disadur dari Sudahkah Akses Bacaan bagi Disabilitas Tersedia di Indonesia?

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button