Kesehatan

Begini Pengaruh Tidak Baik Stigma Terhadap Seksualitas juga Reproduksi Disabilitas

Jakarta – Banyak mitos tersebar di dalam rakyat yang mana menganggap penyandang disabilitas adalah individu tanpa hidup seksual. Hal ini muncul lantaran masih banyak rakyat menyimpulkan bahwa penyandang disabilitas tidaklah mempunyai kesadaran seksual sebagai pendatang dewasa. Sebaliknya, penyandang disabilitas dianggap memiliki perilaku menyimpang bila miliki pilihan di mewujudkan hasrat seksual mereka.

Salah satu dampak buruk yang dialami disabilitas akibat stereotipe juga stigma negatif tentang keberadaan seksualitas merek adalah ketidakmampuan disabilitas bereproduksi kemudian mengurus anak. Terdapat beberapa persoalan hukum yang digunakan menggambarkan keraguan warga umum terhadap  kemampuan perempuan penyandang disabilitas mengurus bayi lalu kehamilannya sendiri.

Ibu Disabilitas Dipisahkan sejak Anaknya Lahir Tanpa Disusui

Akibatnya, beberapa perempuan disabilitas terpaksa dipisahkan dari pasangannya yang dimaksud juga penyandang disabilitas. Sebagian lain ada yang digunakan dilarang atau dianjurkan untuk tidaklah hamil. Sebagian dari mereka itu juga ada yang digunakan segera dipisahkan dengan bayi merekan pasca melahirkan, lantaran dianggap bukan cakap mengurus keluarga.

Seperti yang tersebut dialami oleh salah satu pasangan tunanetra bernama Jejen Juanda juga istrinya Syifa. Saat Syifa hamil, ia tak diperbolehkan tinggal sama-sama suaminya dan juga diungsikan sementara ke rumah keluarga. Hal ini berjalan lantaran banyak keluarga yang dimaksud meragukan pasangan ini dapat menyimpan ke hamilan Syifa.

“Saat istri saya melahirkan, bayi kami dengan segera dipisahkan dari ibunya, akibatnya anak bukan memperoleh air susu ibunya, serta istri saya tidak ada mengalami inisiasi menyusui dini, akhirnya ASInya tidaklah meninggalkan kemudian ia tidak ada dapat menyusui serupa sekali,” ujar Jejen Juanda, pada waktu dihubungi, Kamis 25 Januari 2024.

Tidak semata-mata dipisahkan pada waktu baru melahirkan, Jejen dan juga Syifa juga dipisahkan dari anak dia selama kurang lebih tinggi 2 tahun. Hal ini menyebabkan rasa sedih yang tersebut cukup mendalam bagi pasangan tunanetra ini.

Anak dari Penyandang Disabilitas Alami Trauma dari Keluarga Besar

Bahkan menurut Jejen, keluarga juga meragukan kesegaran mata anak merek lantaran memiliki pendatang tua yang digunakan identik serupa tak melihat. Seringkali, mata bayi dia disorot lampu senter dengan senggaja oleh keluarga Jejen hanya saja untuk menguji kemampuan meninjau bayi mereka.

“Sampai sekarang saya merasa anak saya trauma bila mengamati kilatan cahaya. Dia banyak menangis keras atau jatuh terduduk bila meninjau api yang mana dinyalakan ke kompor atau mengamati kilatan cahaya  di dalam langit,” kata Jejen.

Keraguan komunitas umum terhadap hidup seksual juga reproduksi disabilitas juga pernah disampaikan oleh Ketua Perhimpunan Jiwa Baik Yeni Rosa Damayanti ketika rapat dengar pendapat dengan komisi hak asasi manusia DPR RI tahun 2019. Saat itu data di PJS menunjukkan berbagai perempuan dengan disabilitas mental yang tersebut tak diperbolehkan hamil.

Meski tiada disampaikan secara gamblang, larangan hamil bagi perempuan disabilitas mental dikerjakan secara sistematis. Yeni mencontohkan, pemberian suntikan anti kehamilan yang   diberikan oleh tim kesegaran tertentu tanpa sepengetahuan perempuan disabilitas mental. “Salah satunya suntikan kontrasepsi yang dimaksud dikatakan sebagai suntikan vitamin C,” kata Yeni pada waktu itu.

Mendapatkan Stigma dan juga Steoreotipe

Dalam sebuah penelitian yang digunakan dijalankan oleh Joanne Neille terhadap 30 penyandang disabilitas dewasa di pedesaan Afrika Selatan, mitos kemudian stereotip yang dimaksud salah mengenai keberadaan seksual penyandang disabilitas memberikan dampak buruk bagi hidup juga identitas disabilitas. 

Tidak hanya tereksklusikan secara sosial, stigma seksualitas dan juga reproduksi yang digunakan salah memberikan dampak lanjutan di hidup sosial penyandang disabilitas. Seperti perceraian yang tersebut bukanlah langkah disabilitas, penurunan kesehatan, kesulitan perekonomian hingga penurunan kualitas hidup.

“Seksualitas rutin berubah menjadi sumber penindasan terdalam bagi manusia individu, seringkali pula berubah menjadi sumber rasa sakit yang digunakan terdalam. Sangat enteng bagi pribadi pada umumnya untuk merumuskan strategi mengubah diskriminasi di bidang  pendidikan, perumahan maupun pekerjaan daripada berbicara tentang pengecualian pada seksualitas serta reproduksi,” tulis Naille, seperti yang digunakan diambil di bukunya Deconstructing Mutually Exclusive Constructs, yang dimaksud diterbitkan pada 2018.

Artikel ini disadur dari Begini Dampak Buruk Stigma Terhadap Seksualitas dan Reproduksi Disabilitas

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button